Ketika Pikiran Manusia Menari dengan Mesin
17 Juni 2025 06:25 WIB
Kita hidup di zaman di mana gawai lebih sering disentuh daripada tangan manusia. Di mana algoritma tahu keinginan kita sebelum kita sendiri menyadarinya. Tapi pernahkah kita berhenti sejenak, mematikan layar, dan bertanya: Apa sebenarnya hakikat teknologi?
Teknologi bukan sekadar smartphone, internet, atau robot. Ia adalah perpanjangan hasrat manusia—alat yang kita ciptakan untuk membentuk dunia sesuai keinginan kita. Tapi benarkah kita masih mengendalikannya? Atau justru teknologi yang perlahan membentuk cara kita berpikir, merasa, dan hidup?
Filsafat teknologi adalah ruang di mana kita merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini. Bukan dengan rumus matematika atau kode pemrograman, tetapi dengan kegelisahan yang sama ketika seorang penyair memandang langit, bertanya-tanya tentang makna di balik bintang-bintang.
Bayangkan sebuah pisau. Ia bisa digunakan untuk memotong roti atau menusuk seseorang. Di sini, teknologi tampak netral—hanya tergantung pada tangan yang memegangnya. Tapi benarkah sesederhana itu?
Marshall McLuhan, seorang filsuf media, berkata: "Kita membentuk alat, lalu alat membentuk kita." Setiap teknologi baru tidak hanya mengubah apa yang kita lakukan, tetapi juga siapa kita.
Lihatlah media sosial. Ia tidak sekadar alat untuk berbagi foto. Ia mengubah cara kita memahami persahabatan, cinta, bahkan identitas diri. Kita mulai hidup dalam dunia di mana "like" menjadi pengakuan, dan "story" menjadi bukti eksistensi.
Lalu, siapa yang sebenarnya memegang kendali?
Heidegger, filsuf Jerman, memandang teknologi modern dengan kecurigaan yang mendalam. Baginya, teknologi bukan sekadar perkakas. Ia adalah cara tertentu dalam melihat dunia—di mana segala sesuatu, bahkan manusia, dianggap sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi.
Ia menyebutnya "Gestell"—kerangka berpikir yang mengubah sungai menjadi pembangkit listrik, hutan menjadi lahan industri, dan manusia menjadi kumpulan data.
Pertanyaannya: Apakah kita masih bisa melihat bulan sebagai bulan, bukan sebagai potensi destinasi wisata luar angkasa?
Filsuf lain, Don Ihde, menjelaskan bahwa teknologi adalah perantara antara kita dan realitas. Kacamata mengubah cara kita melihat. Mikrofon mengubah cara kita mendengar. Dan smartphone? Ia mengubah cara kita mengalami hidup.
Kita tidak lagi merasakan hujan dengan kulit, tetapi melalui filter Instagram. Kita tidak lagi mendengar suara burung, tetapi notifikasi WhatsApp. Perlahan, teknologi menjadi lensa yang menempatkan lapisan tipis antara kita dan dunia nyata.
Lalu, apakah kita masih merasakan kehidupan secara langsung? Atau hanya melalui layar?
AI seperti ChatGPT atau robot humanoid tidak lagi sekadar mesin. Mereka bisa menulis puisi, menggambar, bahkan berbicara layaknya manusia. Ini memunculkan pertanyaan filosofis yang dalam:
-
Jika suatu hari mesin bisa berpikir, apakah mereka memiliki kesadaran?
-
Apakah kita berhak memperlakukan mereka sebagai budak digital?
Beberapa orang, seperti Ray Kurzweil, percaya bahwa manusia suatu hari akan menyatu dengan mesin—menjadi cyborg abadi. Yang lain, seperti Elon Musk, memperingatkan bahwa AI bisa menjadi ancaman eksistensial.
Di mana posisi kita dalam perdebatan ini?
Kita dengan senang hati menyerahkan data pribadi kepada Google, Facebook, dan TikTok. Kita menukar privasi dengan kenyamanan. Tapi apakah kita sadar bahwa setiap klik, setiap scroll, membentuk penjara digital yang tak terlihat?
Shoshana Zuboff menyebutnya "surveillance capitalism"—di mana pengalaman manusia diubah menjadi komoditas. Kita tidak lagi pelanggan. Kita adalah produk.
Lalu, bagaimana kita bisa tetap manusia di tengah mesin yang semakin tahu segalanya tentang kita?
Di satu sisi, teknologi bisa menyembuhkan penyakit, memerangi kelaparan, dan menyatukan manusia. Di sisi lain, ia juga bisa memperdalam kesenjangan, menghancurkan lingkungan, dan mengikis kemanusiaan kita.
Pilihan ada di tangan kita.
Kita bisa membiarkan teknologi mengarahkan hidup kita. Atau kita bisa menggunakan teknologi dengan kesadaran—seperti seorang pelukis yang memilih kuasnya dengan hati-hati, bukan seperti anak kecil yang mencoret-coret dinding tanpa rencana.
Filsafat teknologi mengajak kita untuk tidak hanya menggunakan teknologi, tetapi juga memahaminya. Seperti seorang nelayan yang tahu kapan harus berlayar dan kapan harus berlabuh, kita perlu tahu kapan harus terhubung—dan kapan harus mematikan notifikasi, memandang langit, dan merasakan napas kita sendiri.
Karena pada akhirnya, teknologi hanyalah alat. Manusialah yang menentukan: Akankah kita menari bersama mesin, atau justru kehilangan irama kehidupan?